Blog Archive

Sabtu, 08 Januari 2011

Kesederhanaan

Vincent Hakim R.
Sederhana tidak sesederhana makna kata-katanya.
Keserderhanaan. Sebuah kata yang amat sulit dipahami arti sebenarnya. Mungkin karena biasa dipakai orang untuk “menipu” makna sesungguhnya hingga sering bias. Banyak orang bersembunyi di balik arti kata sederhana. Arti kesederhanaan merangkul pikiran, memeluk erat kata-kata dan perilaku. Dan yang pasti, menyatu dalam kemesraan kedalaman penghayatan hidup spiritual penuh ketulusan. Dalam bahasa Jawa ada kata bermakna filosofis SUMELEH. Artinya: lepas, tulus ikhlas, tanpa beban, tidak ada pretensi negatif apa pun di belakangnya. Ada makna “kepasrahan diri” di sana.
Alkisah ada seorang duda tua miskin yang hidup bersama dua anak. Setelah istrinya meninggal, ia seorang diri mengasuh dua anaknya. Seorang anak laki-lakinya gagah dan tampan. Adiknya seorang perempuan cantik dan cerdas. Kemiskinan Pak Tua dan kondisi kedua anaknya sering jadi perbincangan warga desa. Pak Tua tidak terlalu ambil pusing dengan berbagai omongan orang. Dia tetap hidup sederhana dan rajin bekerja sebagai buruh tani di sawah.

Suatu ketika anak lelakinya tertimpa musibah jatuh dari kuda yang dipercayakan orang untuk digembalakan. Salah satu kakinya patah dan akhirnya si pemuda tampan pun menjadi cacat permanen. Para tetangga datang dan ikut menyatakan keprihatinannya.
“Pak, saya ikut prihatin atas musibah dan kemalangan ini,” kata seorang tetangganya.
“Terima kasih. Saya tidak tahu, apakah ini musibah atau keberuntungan,” jawab Pak Tua dengan lugu.
Tak lama berselang. Pemerintah merekrut seluruh pemuda desa untuk wajib militer menghadapi konflik di perbatasan. Para pemuda dan orang tua pun resah. Beberapa warga desa menjadi teringat pada anak Pak Tua yang cacat.
“Pak Tua. Kamu beruntung ya. Anak laki-lakimu tidak dikirim berperang di perbatasan. Anak-anak kami semua berangkat…,” kata seorang wanita tetangganya.
“Bu. Saya tidak tahu, apakah saya sedang beruntung atau tidak beruntung,” jawab Pak Tua, tetap dengan kesederhanaan berpikirnya.
Suatu waktu datanglah seorang pemandu bakat di desa ini. Ketika melihat, bertemu, dan ngobrol panjang lebar dengan keluarga Pak Tua, sang pemandu bakat pun amat terkesan. Sang pemandu bakat, bukan hanya terkesan pada Pak Tua yang bijak, namun juga terpesona atas ketampanan, kecantikan, dan kecerdasan anak-anak dari seorang buruh tani miskin ini.
“Pak. Bolehkah saya mengajak kedua anak bapak ke kota untuk menjadi pemeran film yang sedang saya buat?” pinta sang pemandu bakat dengan amat sopan dan tulus penuh harap.
Pak Tua pun mempertimbangkan dan akhirnya luluh hati mengizinkan kedua anaknya dibawa sang pemandu bakat. Orang-orang di desa ini pun heboh mempergunjingkannya.
“Pak. Kamu akan kehilangan anak-anakmu. Kamu rugi karena tidak ada lagi orang yang bisa mengurusi dan membantumu di rumah,” kata seorang pejabat desa.
“Ya. Terima kasih atas perhatian bapak. Tapi sesungguhnya saya tidak tahu, apakah saya sedang rugi atau akan beruntung,” jawab Pak Tua dengan tenang.
Satu setengah tahun kemudian tersiar kabar, ada dua orang muda dari desa ini menjadi bintang film yang amat berbakat dan mulai diidolakan para kawula muda kota. Warga desa pun kembali heboh. Silih berganti mereka mendatangi rumah Pak Tua, memberikan ucapan selamat dan menjadi amat ramah penuh perhatian.
“Wah, selamat, ya pak. Anak-anakmu hebat. Dan pasti, kamu akan ikut menjadi kaya dan terkenal,” kata beberapa warga desa.
Pak Tua menerima segala ucapan para tetangganya dengan sikap tetap lugu sederhana. Tidak ada yang berubah pada ekspresi Pak Tua.
“Terima kasih. Tapi sesungguhnya saya tidak tahu. Apakah saya sedang beruntung atau sedang rugi. Saya juga tidak tahu, apakah saya akan manjadi kaya dan terkenal atau tidak. Saya pun tidak tahu, apakah kami hebat?”
Ahh… siapa yang tahu, apa yang akan terjadi nanti. Data-data, angka-angka statistik, hitungan-hitungan ramalan, hidup, nasib, dan keberuntungan-kerugian. Semua itu kosong kehampaan – kata orang bijak. Kenyataan, banyak orang lebih memuja kehampaan. Atau cepat menilai orang berdasarkan tampilan fisik aksesoris semata. Dan banyak pula, orang yang begitu bangga dengan atribut, aksesoris, dan membalur diri dengan puja puji agar dipuji khalayak. Program-program televisi… cermin mini kehidupan kita yang penuh dengan atribut-atribut, kegaduhan, dan impian.
Ya… Tapi biarlah semuanya berjalan dengan apa adanya.
Siapa yang tahu esok akan terjadi apa?

0 komentar: