Blog Archive

Sabtu, 08 Januari 2011

Kebahagiaan

Vincent Hakim R.
Suatu malam menjelang pulang kantor, seorang teman lama menelepon saya dan bercerita serius tentang banyak hal. Tentang pengalaman hidup, tentang keluarga, nostalgia masa kecil, dan cerita berkaitan dengan kehidupannya kini.
Sang teman mengakhiri ceritanya sendiri.
“Saya tidak bahagia” katanya.
Suaranya datar. Saya tidak berkomentar sepatah kata pun. Dalam kondisi seperti ini, saya lebih memposisikan diri sebagai pendengar yang baik. Cerita yang bergulir mengalir itu pun selesai. Sang teman meminta dukungan spirit dari saya lalu menutup telepon.
Bahagia. Kebahagiaan.
Makhluk macam apa itu, sehingga setiap orang mengejarnya, berjuang mati-matian, dan rela mengorbankan segala-galanya demi mendapatkan “makhluk yang bernama kebahagiaan”. Luar biasa!
Pikiran saya pun sangat terusik dengan makhluk “kebahagiaan” itu.
Apa itu kebahagiaan?

Dalam kehidupan sehari-hari kata bahagia – biasanya terungkap ketika seseorang mengalami suatu keberhasilan. Hampir tidak pernah terjadi, orang gagal mengatakan dirinya bahagia.
- Si Badu bahagia karena berhasil lulus ujian
- Si Alex bahagia karena berhasil diterima bekerja di sebuah perusahaan
- Si Ani bahagia karena telah mendapatkan pasangan hidup yang sesuai dengan idaman hatinya
- Selamat atas perkawinan Anda, ”Semoga Berbahagia”
- Pasangan suami istri Ibu Anna dan Bapak Slamet berbahagia karena semua anaknya telah berhasil menyelesaikan studi universitasnya
Bagaimana jika seseorang tidak mengalami keberhasilan? Apakah ia bisa mengalami kebahagiaan?
Apa itu Kebahagiaan?
Ada seorang pria kaya raya dengan segala harta benda, uang dan perhiasan melimpah, perusahaan di mana-mana, istri cantik, dan anak-anak semua sudah beranjak dewasa. Kehidupan duniawi yang menyenangkan hati ada dalam genggamannya. Namun di hari tuanya sang pria kaya raya ini mengaku tidak bahagia. Dia merasa kematian kian hari makin dekat bersamaan dengan perjalanan waktu yang seolah kian cepat. Ia takut ketika datang ajal nanti, dia akan menghadapi dan merasakannya sendirian. Hidup di tengah-tengah harta melimpah pun ternyata belum menjamin seseorang meraih kebahagiaan.
Ada pula seorang pria biasa-biasa saja. Namanya Binsar umur 52 tahun, seorang penambal ban di pinggir jalan. Tidak kaya, istri pun tidak cantik namun setia dan begitu mengerti dirinya. Binsar sama sekali belum ada gambaran, keempat anaknya mau jadi apa kelak. Tak ada tabungan uang dan harta apa pun. Pendapatan ekonomi sehari hanya cukup untuk sehari. Sangat pas-pasan. Saya pernah bertanya kepadanya, apakah diri dan keluarganya bahagia? Binsar menjawab dengan logat Bataknya yang amat kental, “kami memang tidak kaya, kami hidup pas-pasan. Tapi saya bahagia. Istri saya sangat pengertian. Hidup ini sudah ada yang mengatur… saya jalani aja, Bang”.
Kebahagiaan bersifat sangat personal. Tidak selalu melekat pada diri dan bisa bersifat temporer. Pada kurun waktu tertentu orang bisa merasakan kebahagiaan, namun sejurus kemudian kebahagiaan itu menguap entah ke mana. Seorang suami bisa begitu bahagia, namun istrinya tidak. Demikian pula anak-anaknya, ada yang bahagia ada pula yang tidak bahagia karena hidup tertekan.
Para pemikir klasik Yunani kuno telah menempatkan isu “kebahagiaan” dalam berbagai kancah diskusi dan pengajaran mereka di pasar-pasar atau di pinggir-pinggir jalan. Bukan hanya pada era Sokrates guru dari filsuf terkemuka Plato tahun 400-an SM. Jauh sebelum itu, Thales, Anaximander, Anaximenes, Zeno, Heraclitos, Phytagoras sampai Anaxagoras bicara tentang kebijaksanaan yang berujung pada kebahagiaan bagi manusia. Filsafat mengalir menuju kebijaksanaan berlabuh di pantai kebahagiaan.
Agama-agama dunia mengajarkan bagaimana manusia bisa menggapai kebahagiaan. Salah satunya ajaran tentang kebijaksanaan dari Timur. Dalam ajaran filsafat India kuno sangat jelas tergambarkan. Bahwa jika manusia ingin hidup bahagia ikuti jalan yang diajarkan Sidharta Gautama. Ada 8 jalan kebenaran yang dapat membawa manusia hidup bahagia dan jauh dari duka. Kebahagiaan sejati bisa dialami manusia di dunia, jika ia tidak lagi terikat erat oleh hal-hal duniawi. Keterikatan kuat pada persoalan duniawi inilah yang membuat manusia tidak lagi bisa hidup bahagia dan selalu dilanda duka. Nirwana – kebahagiaan sejati – menjadi tujuan dari hidup manusia.
“Bisakah keterikatan pada hal-hal yang bersifat materi duniawi membawa kita ke dalam kebahagiaan sejati?” tanya seorang murid pada seorang guru Zen.
Sang guru Zen tidak segera menjawab namun hanya tampak mengerutkan dahinya.
“Guru. Saya ingin mendapatkan kebahagiaan sejati, tapi saya juga tidak ingin meninggalkan harta benda dan kesenangan-kesenangan duniawi” kata si murid.
Jawab Sang Guru Zen, “Sayang sekali. Kebahagiaan sejati hanya mengenal warna putih” .

0 komentar: